Sampah plastik yang ditimbun di dalam tanah atau dibakar bisa mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan. Untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan plastik, sampah plastik hendaknya dimanfaatkan kembali atau didaur ulang.
Silvy de Rosan, 24 tahun, warga Kompleks PWI, Cipinang Muara, Jakarta Timur, memiliki kebiasaan khusus. Seusai berbelanja di supermarket, dia mengumpulkan kantong-kantong plastik (keresek) bekas wadah belanjaan.
Kantong plastik berukuran besar biasanya dia gunakan sebagai penampung sampah dapur. Begitu dipenuhi sampah, kantong itu dia letakkan di depan rumah untuk diambil tukang sampah yang biasanya berkeliling kompleks rumahnya. Sedangkan kantong plastik yang ukurannya lebih kecil biasanya dia gunakan kembali untuk berbagai keperluan, seperti membawa bingkisan atau membawa tempat makanan.
Tidak hanya keresek bekas yang dimanfaatkan Silvy, botol plastik bekas wadah air mineral atau minuman jus buah pun dia optimalkan penggunaannya. Botol air mineral, misalnya, dia gunakan sebagai media tanam sementara tanaman obat, sementara botol bekas minuman jus dipakai Silvy untuk wadah hiasan kerang dan pasir laut yang dia ambil saat berlibur di pantai.
"Untuk plastik kemasan makanan, langsung saya buang ke tempat sampah, juga botol plastik yang tidak bisa difungsikan lagi. Sebenarnya sayang membuang sampah plastik, tetapi saya ndak tahu ke mana dan bagaiman cara yang tepat untuk menyimpan atau mengolahnya," ujar Silvy.
Berbeda dengan Silvy, Krisna Ningsih, warga Kramat jati, Jakarta Timur, memilih memberikan botol-botol tersebut kepada pemulung atau pengumpul koran bekas yang kerap lewat di depan rumahnya. Sebelumnya, perempuan berusia 34 tahun itu mengumpulkan botol-botol bekas tersebut hingga jumlahnya cukup banyak.
Dalam pandangan Alfred Sitorus dari Green Club International, sebuah lembaga nonprofit yang giat mengampanyekan lingkungan hijau, cara-cara penyimpanan atau pemanfaatan , sampah-sampah plastik seperti yang dilakukan Silvy dan Krisna tersebut terbilang positif. Memanfaatkan sampah plastik dinilai lebih bijaksana ketimbang membakar atau menimbunnya di dalam tanah.
Meski demikian, langkah-langkah itu dianggap belum bisa mengatasi persoalan sampah plastik secara menyeluruh. Pasalnya, sampah-sampah plastik berukuran kecil tetap masuk ke keranjang sampah. "Plastik yang menjadi sampah itulah yang menjadi masalah bagi lingkungan hidup," ujar Alfred.
Menurut Alfred, semua jenis sampah plastik memiliki nilai ekonomi dan bisa digunakan kembali untuk keperluan lain, namun nilainya beragam, bergantung pada ukuran dan bentuk sampah plastik tersebut. "Hal yang jadi persoalan, tidak ada edukasi kepada masyarakat bahwa semua plastik memiliki nilai ekonomi sehingga wawasan berpikir masyarakat ndak terbuka," ungkapnya.
Lebih lanjut, Alfred menyatakan seandainya masyarakat mendapatkan pemahaman memadai bahwa plastik mendatangkan keuntungan ekonomi, tentu mereka tidak akan membuang plastik-plastik bekas itu ke tempat sampah. Selain itu, untuk menstimulus warga tidak membuang sampah plastik, pemerintah provinsi (pemprov) seharusnya memberi insentif kepada warga yang tidak membuang sampah plastik atau zero waste. Bentuk insentif itu, menurut Alfred, salah satunya dengan pembebasan retribusi sampah.
Dampak Negatif Langkah-langkah yang diambil tersebut bertujuan untuk mengurangi dampak negatif sampah plastik terhadap lingkungan. Peneliti dari pusat penelitian kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Haryono, mengatakan plastik merupakan bahan yang sulit terurai di alam. Kalaupun bisa terurai, dibutuhkan waktu puluhan, bahkan ratusan, tahun lamanya.
Awalnya, plastik diolah dari minyak bumi yang kemudian menghasilkan monomer yang terdiri dari unsur karbon, oksigen, dan hidrogen. Monomer itu kemudian diubah menjadi polimer dan dikenal dengan sebutan plastik. Sejak diproduksi secara besar-besaran pada 1940, kegunaan plastik untuk pelbagai keperluan, telah menjadikan plastik sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan masyarakat dunia. Tahun ini, diperkirakan lebih dari 300 juta ton plastik diproduksi di dunia.
Plastik jenis polystyrene yang biasanya digunakan sebagai bahan pembuatan styrofoam merupakan plastik yang paling sulit terurai. Bayangkan, proses penguraian plastik jenis itu bisa mencapai 1.000 tahun! Tidak hanya sulit terurai di alam, styrofoam yang kerap digunakan sebagai wadah makanan ternyata membahayakan kesehatan. Pasalnya, salah satu zat pembuat styrofoam, yaitu benzena, yang notabene merupakan bahan karsinogeik (mengandung racun)
akan meleleh dan bereaksi secara kimia apabila terkena panas atau asam. Lelehan tersebut akan berpindah ke makanan yang diletakkan di dalamnya yang kemudian bisa saja ikut terkonsumsi oleh manusia. Selain berdampak buruk terhadap kesehatan, sampah plastik menyebabkan kerusakan lingkungan. Plastik yang ditimbun di dalam tanah akan mengganggu kesuburan tanah. Bahannya yang tidak bisa terurai akan menahan pertumbuhan akar tanaman.
Proses pengambilan oksigen oleh tanah pun akan terhambat sehingga tanah tidak lagi gembur. Menimbun sampah plastik di dalam tanah hanya akan menimbulkan persoalan. Selain menurunkan kualitas tanah, sampah plastik mencemarkan air tanah akibat terserapnya zat-zat kimia yang terkandung dalam plastik.
Menurut Kepala Subbidang Pengelolaan Sumber Daya Sampah dan Limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3) Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Pemprov DKI Rosa Ambarsari, keberadaan sampah plastik memang telah mengganggu lingkungan. Apalagi ditambah dengan perilaku masyarakat yang kerap membuang sampah ke saluran air termasuk sungai. Pembuangan sampah plastik yang sembarangan itu menjadi salah satu penyebab banjir. "Berbeda dengan sampah organik yang di sungai bisa terurai, sampah plastik sama sekali tidak bisa terurai sehingga menyumbat saluran air," kata Rosa.
Sebaiknya sampah plastik juga tidak dibakar karena pembakaran tersebut akan menghasilkan zat dioksin dan furan. Apabila terhirup manusia, kedua zat itu bisa memicu timbulnya penyakit kanker. Lantas, bagaimana penanganan sampah plastik yang paling tepat? Menurut Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bahruna, penanganan itu harus dilakukan mulai dari hulu ke hilir.
Sebelum diolah, sampah-sampah itu harus dipilah-pilah antara sampah organik dan nonorganik yang salah satunya berupa plastik. Pemilahan tersebut, menurut Eko, idealnya dilakukan dari rumah tangga. "Kami menangani bagian hilir, yakni mengolah sampah-sampah plastik itu," paparnya.
Sayangnya, hingga saat ini, di bak-bak truk pengangkut sampah, baik sampah organik maupun nonorganik masih dijadikan satu. Selain itu, belum diaplikasikan teknologi yang bisa mengolah sampah plastik menjadi bijih-bijih plastik langsung di tempat pembuangan akhir.
Silvy de Rosan, 24 tahun, warga Kompleks PWI, Cipinang Muara, Jakarta Timur, memiliki kebiasaan khusus. Seusai berbelanja di supermarket, dia mengumpulkan kantong-kantong plastik (keresek) bekas wadah belanjaan.
Kantong plastik berukuran besar biasanya dia gunakan sebagai penampung sampah dapur. Begitu dipenuhi sampah, kantong itu dia letakkan di depan rumah untuk diambil tukang sampah yang biasanya berkeliling kompleks rumahnya. Sedangkan kantong plastik yang ukurannya lebih kecil biasanya dia gunakan kembali untuk berbagai keperluan, seperti membawa bingkisan atau membawa tempat makanan.
Tidak hanya keresek bekas yang dimanfaatkan Silvy, botol plastik bekas wadah air mineral atau minuman jus buah pun dia optimalkan penggunaannya. Botol air mineral, misalnya, dia gunakan sebagai media tanam sementara tanaman obat, sementara botol bekas minuman jus dipakai Silvy untuk wadah hiasan kerang dan pasir laut yang dia ambil saat berlibur di pantai.
"Untuk plastik kemasan makanan, langsung saya buang ke tempat sampah, juga botol plastik yang tidak bisa difungsikan lagi. Sebenarnya sayang membuang sampah plastik, tetapi saya ndak tahu ke mana dan bagaiman cara yang tepat untuk menyimpan atau mengolahnya," ujar Silvy.
Berbeda dengan Silvy, Krisna Ningsih, warga Kramat jati, Jakarta Timur, memilih memberikan botol-botol tersebut kepada pemulung atau pengumpul koran bekas yang kerap lewat di depan rumahnya. Sebelumnya, perempuan berusia 34 tahun itu mengumpulkan botol-botol bekas tersebut hingga jumlahnya cukup banyak.
Dalam pandangan Alfred Sitorus dari Green Club International, sebuah lembaga nonprofit yang giat mengampanyekan lingkungan hijau, cara-cara penyimpanan atau pemanfaatan , sampah-sampah plastik seperti yang dilakukan Silvy dan Krisna tersebut terbilang positif. Memanfaatkan sampah plastik dinilai lebih bijaksana ketimbang membakar atau menimbunnya di dalam tanah.
Meski demikian, langkah-langkah itu dianggap belum bisa mengatasi persoalan sampah plastik secara menyeluruh. Pasalnya, sampah-sampah plastik berukuran kecil tetap masuk ke keranjang sampah. "Plastik yang menjadi sampah itulah yang menjadi masalah bagi lingkungan hidup," ujar Alfred.
Menurut Alfred, semua jenis sampah plastik memiliki nilai ekonomi dan bisa digunakan kembali untuk keperluan lain, namun nilainya beragam, bergantung pada ukuran dan bentuk sampah plastik tersebut. "Hal yang jadi persoalan, tidak ada edukasi kepada masyarakat bahwa semua plastik memiliki nilai ekonomi sehingga wawasan berpikir masyarakat ndak terbuka," ungkapnya.
Lebih lanjut, Alfred menyatakan seandainya masyarakat mendapatkan pemahaman memadai bahwa plastik mendatangkan keuntungan ekonomi, tentu mereka tidak akan membuang plastik-plastik bekas itu ke tempat sampah. Selain itu, untuk menstimulus warga tidak membuang sampah plastik, pemerintah provinsi (pemprov) seharusnya memberi insentif kepada warga yang tidak membuang sampah plastik atau zero waste. Bentuk insentif itu, menurut Alfred, salah satunya dengan pembebasan retribusi sampah.
Dampak Negatif Langkah-langkah yang diambil tersebut bertujuan untuk mengurangi dampak negatif sampah plastik terhadap lingkungan. Peneliti dari pusat penelitian kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Haryono, mengatakan plastik merupakan bahan yang sulit terurai di alam. Kalaupun bisa terurai, dibutuhkan waktu puluhan, bahkan ratusan, tahun lamanya.
Awalnya, plastik diolah dari minyak bumi yang kemudian menghasilkan monomer yang terdiri dari unsur karbon, oksigen, dan hidrogen. Monomer itu kemudian diubah menjadi polimer dan dikenal dengan sebutan plastik. Sejak diproduksi secara besar-besaran pada 1940, kegunaan plastik untuk pelbagai keperluan, telah menjadikan plastik sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan masyarakat dunia. Tahun ini, diperkirakan lebih dari 300 juta ton plastik diproduksi di dunia.
Plastik jenis polystyrene yang biasanya digunakan sebagai bahan pembuatan styrofoam merupakan plastik yang paling sulit terurai. Bayangkan, proses penguraian plastik jenis itu bisa mencapai 1.000 tahun! Tidak hanya sulit terurai di alam, styrofoam yang kerap digunakan sebagai wadah makanan ternyata membahayakan kesehatan. Pasalnya, salah satu zat pembuat styrofoam, yaitu benzena, yang notabene merupakan bahan karsinogeik (mengandung racun)
akan meleleh dan bereaksi secara kimia apabila terkena panas atau asam. Lelehan tersebut akan berpindah ke makanan yang diletakkan di dalamnya yang kemudian bisa saja ikut terkonsumsi oleh manusia. Selain berdampak buruk terhadap kesehatan, sampah plastik menyebabkan kerusakan lingkungan. Plastik yang ditimbun di dalam tanah akan mengganggu kesuburan tanah. Bahannya yang tidak bisa terurai akan menahan pertumbuhan akar tanaman.
Proses pengambilan oksigen oleh tanah pun akan terhambat sehingga tanah tidak lagi gembur. Menimbun sampah plastik di dalam tanah hanya akan menimbulkan persoalan. Selain menurunkan kualitas tanah, sampah plastik mencemarkan air tanah akibat terserapnya zat-zat kimia yang terkandung dalam plastik.
Menurut Kepala Subbidang Pengelolaan Sumber Daya Sampah dan Limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3) Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Pemprov DKI Rosa Ambarsari, keberadaan sampah plastik memang telah mengganggu lingkungan. Apalagi ditambah dengan perilaku masyarakat yang kerap membuang sampah ke saluran air termasuk sungai. Pembuangan sampah plastik yang sembarangan itu menjadi salah satu penyebab banjir. "Berbeda dengan sampah organik yang di sungai bisa terurai, sampah plastik sama sekali tidak bisa terurai sehingga menyumbat saluran air," kata Rosa.
Sebaiknya sampah plastik juga tidak dibakar karena pembakaran tersebut akan menghasilkan zat dioksin dan furan. Apabila terhirup manusia, kedua zat itu bisa memicu timbulnya penyakit kanker. Lantas, bagaimana penanganan sampah plastik yang paling tepat? Menurut Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bahruna, penanganan itu harus dilakukan mulai dari hulu ke hilir.
Sebelum diolah, sampah-sampah itu harus dipilah-pilah antara sampah organik dan nonorganik yang salah satunya berupa plastik. Pemilahan tersebut, menurut Eko, idealnya dilakukan dari rumah tangga. "Kami menangani bagian hilir, yakni mengolah sampah-sampah plastik itu," paparnya.
Sayangnya, hingga saat ini, di bak-bak truk pengangkut sampah, baik sampah organik maupun nonorganik masih dijadikan satu. Selain itu, belum diaplikasikan teknologi yang bisa mengolah sampah plastik menjadi bijih-bijih plastik langsung di tempat pembuangan akhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar