Sabtu, 24 Juli 2010

Suku Asli Semenanjung Malaya Hidup Terlunta !


Hanya beberapa jam perjalanan darat dari Kuala Lumpur, ibu kota Malaysia yang megah, puluhan ribu warga suku asli Semenanjung Malaya yang dikenal sebagai orang Semai hidup terlunta-lunta dibelit kemiskinan. Itulah ironi pembangunan Malaysia yang konon sejak tahun 1970 menerapkan New Economic Policy yang berpihak pada golongan Bumiputera.

New Economic Policy (NEP) memang berhasil memajukan perekonomian golongan Bumiputera, terutama yang berafiliasi politik kepada UMNO dan Barisan Nasional. Namun, pemandangan kontras terlihat di kampung-kampung Orang Asli, termasuk di dalamnya suku Semai yang dijuluki forgotten Malaysian atau orang Malaysia yang terlupakan.

Bocah-bocah cilik setengah telanjang terlihat di gubuk-gubuk di permukiman Semai di Kampung Bertang Lama. Perut mereka membuncit, rambut kemerahan, pertanda kekurangan gizi.

Kampung yang dihuni sekitar 300 jiwa itu terletak di dekat Cheroh, sebuah kota kecil di tengah Negara Bagian Pahang di pegunungan Titiwangsa, dataran tinggi di Semenanjung Malaya.

Suku Semai dikenal hidup nomaden (berpindah), tetapi kini sebagian besar hidup menetap di sejumlah perkampungan. Perkampungan Semai tidak memiliki fasilitas dasar yang disediakan pemerintah terhadap perkampungan Melayu, seperti sarana air leding, listrik, kesehatan, dan jalan aspal.

Pasokan pangan juga minim di perkampungan Semai. Warga masih hidup secara subsisten dengan berburu dan mencari bahan mentah di alam bebas, seperti rotan dan kayu agar.

Namun, tidak banyak uang yang didapat dari mengumpulkan hasil hutan. Hutan Malaya yang menjadi sumber penghidupan orang Semai semakin menyusut karena industri kayu dan perkebunan sawit yang berkembang pesat.

Saat ini diperkirakan ada 45.000 orang Semai di Semenanjung Malaya. Mereka adalah bagian dari 150.000 suku asli yang terbagi dalam 19 kelompok bahasa yang hidup di Semenanjung Malaya atau yang dikenal sebagai Malaysia Barat.

Koordinator Pusat Orang Asli Colin Nicholas yang ditemui rombongan wartawan, Selasa, (20/7) mengatakan, suku Semai dan suku asli lainnya menjadi warga Malaysia yang terlupakan dan tidak terlihat oleh pemerintah. ”Semai semasa operasi militer Inggris terhadap gerilyawan komunis pada tahun 1950-an semasa Malaya Emergency merupakan ujung tombak dalam pertempuran rimba. Jasa-jasa mereka kini dilupakan begitu saja,” ujar Nicholas.

Para politisi Malaysia menjual janji kepada Orang Asli untuk memilih mereka. Setelah itu, Orang Asli kembali dilupakan karena jumlah mereka memang sedikit. Saat ini penduduk Malaysia tercatat sekitar 28 juta jiwa.

”Mereka diabaikan pemerintah karena jumlahnya tidak signifikan dan tidak bisa memberikan tekanan politik. Mereka sudah di ambang kehancuran secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik,” kata Nicholas.

Meski demikian, diakui, beberapa perkampungan Orang Asli yang berada tidak jauh dari pusat-pusat perekonomian memiliki kesempatan hidup yang lebih baik.

Penderitaan warga Bertang Lama muncul ke permukaan setelah Lim Ka Ea, anggota persatuan advokat Malaysia, mengunjungi kampung tersebut. Dia terkejut melihat penderitaan hidup yang dialami warga Semai di Kampung Bertang Lama.

”Banyak orang Malaysia melihat mereka sebagai orang primitif dan tidak diperlukan dalam pembangunan Malaysia, kecuali dijadikan obyek turis karena terlihat eksotis,” ujar Lim.

Tak lama setelah Lim berbicara kepada wartawan, Jolisa (11), gadis Semai, bertemu dengan rombongan Lim saat baru kembali dari hutan. Jolisa membawa golok dan keranjang bambu bersama tiga temannya.

”Kami mencari sayuran hutan. Saya sebetulnya ingin bersekolah jika ada sekolah yang dibangun di kampung,” ujar Jolisa yang menyambut para pendatang dari kota dengan ramah.

Sebagian besar anak-anak suku Semai di Bertang Lama buta huruf. Setiap hari mereka kelaparan karena keluarga mereka hanya mampu menyediakan sayuran dan singkong dari hutan.

Kampung Bertang terletak sekitar 11 kilometer dari jalan raya. Jalan tanah milik perusahaan logging (penebangan kayu) menjadi akses untuk mencapai Kampung Bertang.

”Kami menjual rotan, bambu, dan kayu agar dari hutan. Sekarang hasil hutan tersebut sudah susah didapat,” ujar Yoke Ham (47), warga Kampung Bertang yang memiliki 12 anak.

Yoke Ham mengaku, nenek moyangnya menghuni Bertang Lama sejak ratusan tahun silam. Pendapatan yang diperolehnya setiap bulan hanya sekitar 300 ringgit Malaysia (Rp 900.000).

Perdana Menteri Najib Razak, yang berambisi menjadikan Malaysia sebagai negara maju pada tahun 2020, menjanjikan tidak seorang pun warga Malaysia ditinggalkan oleh proses pembangunan. ”Saya berjanji sebagai perdana menteri akan memberikan perlakuan adil kepada semua warga negara Malaysia. Semua kelompok masyarakat harus maju. Malaysia akan menjadi negara dengan pendapatan tinggi,” kata Najib.

Janji tersebut, bagi Robina, warga Kampung Bertang Lama, sepertinya tinggal janji. ”Anakku Sinar kena demam. Aku tidak punya uang untuk beli obat dan nasi untuk anakku,” ujar Robina sambil memeluk Sinar.

Dia mengaku belum sarapan sejak pagi. Hidup sungguh kejam bagi warga suku asli Malaysia .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar