Film Panas Komedi Sex Murahan Merajalela 2010. Keberadaan bujet dalam membuat sebuah film layar lebar menjadi kendala paling utama dalam industri film di Indonesia. Kesimpulan itu mengemuka dalam dialog antara sutrada film, pemerhati film, dan wartawan film di Jakarta, kemarin.
Helfi Kardit, sutradara yang telah membesut sepuluh film diantaranya Mengaku Rasul (2008), Lantai 13 (2007), dan Arisan Brondong (2010) mengakui, jika bujet menjadi kendala mendasar, diluar kemampuan sutradaranya sendiri, dalam menghadirkan sebuah film yang bermartabat.
Dia mencontohkan, jika seorang sutradara telah mempunyai sebuah cerita yang menurutnya menarik, dan telah menawarkannya kepada seorang produser, maka selanjutnya tinggal permasalahan dana yang dibahas, setelah pihak produser menerima skenario yang ditawarkan.
''Biasanya, dana yang kami terima tidak semaksimal yang kami inginkan,'' katanya di Jakarta, Selasa . Atas alasan itulah, para sutradara hanya mampu membuat film dalam kualitas apa adanya. Baik dari pemilihan pemain, lokasi syuting, editing hingga proses pengkopian film dalam bentuk jadinya.
Dunia Film Adalah Bisnis
Hal itu beralasan dilakukan oleh para produser film karena, para produser juga harus berpikir keras bagaimana mengembalikan sejumlah uang yang telah mereka tanamankan di sebuah film. Untuk film yang paling standar dan murah, ujar pemerhati film Yan Widjaja, biasanya produser menggelontorkan 4 sampai 6 milliar rupiah.
Hal itu beralasan dilakukan oleh para produser film karena, para produser juga harus berpikir keras bagaimana mengembalikan sejumlah uang yang telah mereka tanamankan di sebuah film. Untuk film yang paling standar dan murah, ujar pemerhati film Yan Widjaja, biasanya produser menggelontorkan 4 sampai 6 milliar rupiah.
''Jika film tidak laku, maka raiblah uang sejumlah itu,'' katanya.
Atas alasan itulah, biasanya para produser enggan berjudi menerima terima cerita yang di luar arus. Biasanya para produser lebih suka membuat film bergenre drama komedi, komedi sex, atau horor berbumbu sex, yang konon mudah untuk ''membujuk'' penonton ke gedung bioskop. ''Dengan begitu, uang mereka kembali, atau untung,'' imbuh Yan.
Lain halnya, jika seorang sutradara, berani mengambil resiko untuk menjadi produser, atau membiayai filmnya sendiri. Sebagaimana yang dilakukan Arya Kusumadewa lewat film-film independennya, seperti Identitas. Meski tidak mendapatkan tanggapan penonton yang baik, dengan penontonnya yang sangat sedikit, Identitas berhasil meraih beberapa Piala Citra.
Arya Kusumadewa, Helfi Kardit, dan Yan Widjaja mengatakan, tidak ada rumusan membuat film laris di dunia film manapun. Atas alasan itulah, para produser lebih suka menggunakan rumus sederhana, atau jalan pintas, dengan lebih suka ''menjual'' film berbiaya murah, dengan bumbu sex di sana-sini, dengan harapan, mendatangkan penonton sebanyak-banyak.
''Karena betapapun, dunia film adalah bisnis,'' kata Yan.
sumber: suaramerdeka.com
Helfi Kardit, sutradara yang telah membesut sepuluh film diantaranya Mengaku Rasul (2008), Lantai 13 (2007), dan Arisan Brondong (2010) mengakui, jika bujet menjadi kendala mendasar, diluar kemampuan sutradaranya sendiri, dalam menghadirkan sebuah film yang bermartabat.
Dia mencontohkan, jika seorang sutradara telah mempunyai sebuah cerita yang menurutnya menarik, dan telah menawarkannya kepada seorang produser, maka selanjutnya tinggal permasalahan dana yang dibahas, setelah pihak produser menerima skenario yang ditawarkan.
''Biasanya, dana yang kami terima tidak semaksimal yang kami inginkan,'' katanya di Jakarta, Selasa . Atas alasan itulah, para sutradara hanya mampu membuat film dalam kualitas apa adanya. Baik dari pemilihan pemain, lokasi syuting, editing hingga proses pengkopian film dalam bentuk jadinya.
Dunia Film Adalah Bisnis
Hal itu beralasan dilakukan oleh para produser film karena, para produser juga harus berpikir keras bagaimana mengembalikan sejumlah uang yang telah mereka tanamankan di sebuah film. Untuk film yang paling standar dan murah, ujar pemerhati film Yan Widjaja, biasanya produser menggelontorkan 4 sampai 6 milliar rupiah.
Hal itu beralasan dilakukan oleh para produser film karena, para produser juga harus berpikir keras bagaimana mengembalikan sejumlah uang yang telah mereka tanamankan di sebuah film. Untuk film yang paling standar dan murah, ujar pemerhati film Yan Widjaja, biasanya produser menggelontorkan 4 sampai 6 milliar rupiah.
''Jika film tidak laku, maka raiblah uang sejumlah itu,'' katanya.
Atas alasan itulah, biasanya para produser enggan berjudi menerima terima cerita yang di luar arus. Biasanya para produser lebih suka membuat film bergenre drama komedi, komedi sex, atau horor berbumbu sex, yang konon mudah untuk ''membujuk'' penonton ke gedung bioskop. ''Dengan begitu, uang mereka kembali, atau untung,'' imbuh Yan.
Lain halnya, jika seorang sutradara, berani mengambil resiko untuk menjadi produser, atau membiayai filmnya sendiri. Sebagaimana yang dilakukan Arya Kusumadewa lewat film-film independennya, seperti Identitas. Meski tidak mendapatkan tanggapan penonton yang baik, dengan penontonnya yang sangat sedikit, Identitas berhasil meraih beberapa Piala Citra.
Arya Kusumadewa, Helfi Kardit, dan Yan Widjaja mengatakan, tidak ada rumusan membuat film laris di dunia film manapun. Atas alasan itulah, para produser lebih suka menggunakan rumus sederhana, atau jalan pintas, dengan lebih suka ''menjual'' film berbiaya murah, dengan bumbu sex di sana-sini, dengan harapan, mendatangkan penonton sebanyak-banyak.
''Karena betapapun, dunia film adalah bisnis,'' kata Yan.
sumber: suaramerdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar