Departemen Kesehatan mengimbau kalangan medis untuk tidak menyunat perempuan. Banyak yang percaya perempuan wajib sunat.
Dewi bukan nama sebenarnya-masih dihantui trauma akibat kejadian 27 tahun lalu. Berdua dengan adik perempuannya, ia diantar ke seorang bidan. Kedua gadis kecil yang bermukim di Sawangan, Depok, Jawa Barat, ini rupanya disunat. Dewi masih 9 tahun waktu itu, adiknya 1,5 tahun.
Ayah Dewi membujuk. "Ini rasanya seperti dicolek saja. Lagi pula, bagus untuk kesehatan," ujar Dewi menirukan bujukan sang ayah.
Tibalah Dewi di ruang periksa. Ia disuruh duduk dan melihat ke langit-langit. Bidan memberi suntikan pengurang sakit. Toh, sayatan pisau pada klitorisnya tetap membuatnya menjerit. "Ibu saya juga menangis melihat saya kesakitan."
Perih bekas sayatan masih dirasakan Dewi sampai beberapa hari. Selama itu, dia sekuat tenaga menahan keinginan untuk buang air kecil. "Saya takut pipis karena sakit sekali," ceritanya.
Dewi dan adiknya merupakan dua dari banyak perempuan yang pernah disunat. Dua pekan lalu, sejumlah organisasi perempuan nasional dan internasional mengadakan penelitian tentang praktek sunat seperti yang dialami Dewi. Penelitian itu mendapat rekomendasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan dilakukan selama tiga tahun. Lokasinya di beberapa tempat, antara lain Padang, Serang, Sumenep, Kutai Kartanegara, Gorontalo, dan Ambon. Ternyata, diketahui hampir semua perempuan di Indonesia dikhitan.
Sunat dijalankan dengan cara berbeda-beda. Yang sama adalah obyeknya, klitoris. Yang mengagetkan, "Tujuh puluh dua persen dilakukan dengan cara-cara berbahaya dan 28 persen dilakukan secara simbolis," kata Sri Hermianti, Direktur Bina Kesehatan Ibu dan Anak, Departemen Kesehatan.
Tindakan berbahaya yang ia maksud antara lain melakukan sayatan, goresan, atau pemotongan secara insisi, yaitu tanpa ada jaringan yang terlepas, dan eksisi, yaitu memotong melepas jaringan. "Jika klitoris sudah rusak, berarti dia tidak punya kepekaan terhadap lawan jenisnya. Itu berarti merusak proses reproduksi seksualnya," ujar Sri.
Dalam jangka panjang, rusaknya klitoris bisa mengakibatkan gangguan menstruasi, infeksi saluran kemih kronis, radang panggul kronis, dan disfungsi seksual. Bahkan risiko tertular HIV/ AIDS pun menjadi lebih tinggi. Karena pertimbangan itulah Departemen Kesehatan mengimbau tenaga medis profesional, dokter dan bidan, tidak melakukan sunat pada perempuan.
Imbauan yang dikeluarkan Departemen Kesehatan segera memancing perdebatan. Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Ma'ruf Amien mengatakan imbauan itu tidak benar. Sunat, menurut dia, merupakan bagian ajaran Islam yang harus dilaksanakan, bukan malah dilarang.
Di masyarakat sendiri ada kepercayaan bahwa perempuan wajib disunat seperti halnya laki-laki. Masyarakat Goronta10, misalnya, percaya ada segumpal daging kecil sebesar butiran beras yang menempel pada klitoris. "Menurut para leluhur, yang menempel pada klitoris itu titipan setan dan harus dibersihkan," kata Farha Daulima, pemuka adat Gorontalo.
Dalam tradisi Gorontalo, bocah perempuan usia satu sampai dua tahun akan menjalani masa adat. Saat itu mereka harus mengikuti upacara mopolihu lo limu - mandi air ramuan limau purut dan mongubingo, khitan atau mencubit daging yang menempel pada klitoris. Secara turun-temurun mereka percaya, jika hal itu tidak dilakukan, maka anak yang dilahirkan tetap membawa barang haram
Secara agama, khitan pada lelaki maupun perempuan juga dianggap kewajiban bagi setiap muslim suku Gorontalo. Alasannya lain lagi. "Khitan akan membatasi nafsu perempuan," kata D.K. Usman, pemuka agama.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejauh ini belum mengambil sikap. "Belum ada pertanyaan yang langsung dari masyarakat, lembaga, atau pemerintah ke kami, sehingga belum dibahas secara profesional dalam Komisi Fatwa," kata Ketua MUI Amidhan.
Ia hanya menerangkan, menurut mazhab Maliki dan Hambali, khitan perempuan dianggap sebagai tindakan kemuliaan, asalkan tidak berlebihan. Sedangkan mazhab Syafi'i, yang dianut banyak kalangan di sini, mewajibkan sunat pada perempuan.
Merujuk kepada keterangan itu, Amidhan berharap petugas medis tidak menolak untuk mengkhitan perempuan. "Lebih berisiko kalau masyarakat lari ke bidan kampung yang standar kesehatannya tidak terjamin," katanya.
Sudah waktunya juga kesehatan reproduksi perempuan jadi pertimbangan.
sumber: Majalah Tempo
Dewi bukan nama sebenarnya-masih dihantui trauma akibat kejadian 27 tahun lalu. Berdua dengan adik perempuannya, ia diantar ke seorang bidan. Kedua gadis kecil yang bermukim di Sawangan, Depok, Jawa Barat, ini rupanya disunat. Dewi masih 9 tahun waktu itu, adiknya 1,5 tahun.
Ayah Dewi membujuk. "Ini rasanya seperti dicolek saja. Lagi pula, bagus untuk kesehatan," ujar Dewi menirukan bujukan sang ayah.
Tibalah Dewi di ruang periksa. Ia disuruh duduk dan melihat ke langit-langit. Bidan memberi suntikan pengurang sakit. Toh, sayatan pisau pada klitorisnya tetap membuatnya menjerit. "Ibu saya juga menangis melihat saya kesakitan."
Perih bekas sayatan masih dirasakan Dewi sampai beberapa hari. Selama itu, dia sekuat tenaga menahan keinginan untuk buang air kecil. "Saya takut pipis karena sakit sekali," ceritanya.
Dewi dan adiknya merupakan dua dari banyak perempuan yang pernah disunat. Dua pekan lalu, sejumlah organisasi perempuan nasional dan internasional mengadakan penelitian tentang praktek sunat seperti yang dialami Dewi. Penelitian itu mendapat rekomendasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan dilakukan selama tiga tahun. Lokasinya di beberapa tempat, antara lain Padang, Serang, Sumenep, Kutai Kartanegara, Gorontalo, dan Ambon. Ternyata, diketahui hampir semua perempuan di Indonesia dikhitan.
Sunat dijalankan dengan cara berbeda-beda. Yang sama adalah obyeknya, klitoris. Yang mengagetkan, "Tujuh puluh dua persen dilakukan dengan cara-cara berbahaya dan 28 persen dilakukan secara simbolis," kata Sri Hermianti, Direktur Bina Kesehatan Ibu dan Anak, Departemen Kesehatan.
Tindakan berbahaya yang ia maksud antara lain melakukan sayatan, goresan, atau pemotongan secara insisi, yaitu tanpa ada jaringan yang terlepas, dan eksisi, yaitu memotong melepas jaringan. "Jika klitoris sudah rusak, berarti dia tidak punya kepekaan terhadap lawan jenisnya. Itu berarti merusak proses reproduksi seksualnya," ujar Sri.
Dalam jangka panjang, rusaknya klitoris bisa mengakibatkan gangguan menstruasi, infeksi saluran kemih kronis, radang panggul kronis, dan disfungsi seksual. Bahkan risiko tertular HIV/ AIDS pun menjadi lebih tinggi. Karena pertimbangan itulah Departemen Kesehatan mengimbau tenaga medis profesional, dokter dan bidan, tidak melakukan sunat pada perempuan.
Imbauan yang dikeluarkan Departemen Kesehatan segera memancing perdebatan. Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Ma'ruf Amien mengatakan imbauan itu tidak benar. Sunat, menurut dia, merupakan bagian ajaran Islam yang harus dilaksanakan, bukan malah dilarang.
Di masyarakat sendiri ada kepercayaan bahwa perempuan wajib disunat seperti halnya laki-laki. Masyarakat Goronta10, misalnya, percaya ada segumpal daging kecil sebesar butiran beras yang menempel pada klitoris. "Menurut para leluhur, yang menempel pada klitoris itu titipan setan dan harus dibersihkan," kata Farha Daulima, pemuka adat Gorontalo.
Dalam tradisi Gorontalo, bocah perempuan usia satu sampai dua tahun akan menjalani masa adat. Saat itu mereka harus mengikuti upacara mopolihu lo limu - mandi air ramuan limau purut dan mongubingo, khitan atau mencubit daging yang menempel pada klitoris. Secara turun-temurun mereka percaya, jika hal itu tidak dilakukan, maka anak yang dilahirkan tetap membawa barang haram
Secara agama, khitan pada lelaki maupun perempuan juga dianggap kewajiban bagi setiap muslim suku Gorontalo. Alasannya lain lagi. "Khitan akan membatasi nafsu perempuan," kata D.K. Usman, pemuka agama.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejauh ini belum mengambil sikap. "Belum ada pertanyaan yang langsung dari masyarakat, lembaga, atau pemerintah ke kami, sehingga belum dibahas secara profesional dalam Komisi Fatwa," kata Ketua MUI Amidhan.
Ia hanya menerangkan, menurut mazhab Maliki dan Hambali, khitan perempuan dianggap sebagai tindakan kemuliaan, asalkan tidak berlebihan. Sedangkan mazhab Syafi'i, yang dianut banyak kalangan di sini, mewajibkan sunat pada perempuan.
Merujuk kepada keterangan itu, Amidhan berharap petugas medis tidak menolak untuk mengkhitan perempuan. "Lebih berisiko kalau masyarakat lari ke bidan kampung yang standar kesehatannya tidak terjamin," katanya.
Sudah waktunya juga kesehatan reproduksi perempuan jadi pertimbangan.
sumber: Majalah Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar