Rabu, 23 Desember 2009

Mencubit Titipan Setan !


Departemen Kesehatan mengimbau kalangan medis untuk tidak menyunat perempuan. Banyak yang percaya perempuan wajib sunat.

Dewi bukan nama sebe­narnya-masih dihantui trauma akibat kejadian 27 tahun lalu. Berdua de­ngan adik perempuannya, ia diantar ke seorang bidan. Kedua gadis kecil yang bermukim di Sawangan, Depok, Jawa Barat, ini rupanya disunat. Dewi ma­sih 9 tahun waktu itu, adiknya 1,5 tahun.

Ayah Dewi membujuk. "Ini rasanya seperti dicolek saja. Lagi pula, bagus untuk kesehatan," ujar Dewi menirukan bujukan sang ayah.

Tibalah Dewi di ruang perik­sa. Ia disuruh duduk dan melihat ke langit-langit. Bidan memberi suntikan pengurang sakit. Toh, sayatan pisau pada klitorisnya tetap membuatnya menjerit. "Ibu saya juga menangis melihat saya kesakitan."

Perih bekas sayatan masih dirasakan Dewi sampai beberapa hari. Selama itu, dia sekuat tenaga menahan keinginan untuk buang air kecil. "Saya takut pipis karena sakit sekali," ceritanya.

Dewi dan adiknya merupa­kan dua dari banyak perempu­an yang pernah disunat. Dua pekan lalu, sejumlah organisasi perempuan nasional dan internasional mengadakan penelitian tentang praktek sunat seperti yang dialami Dewi. Penelitian itu mendapat rekomendasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan dilakukan selama tiga tahun. Lokasinya di beberapa tempat, antara lain Padang, Serang, Sumenep, Kutai Kartanegara, Gorontalo, dan Ambon. Ternyata, diketahui hampir semua perempuan di Indonesia dikhitan.

Sunat dijalankan dengan ca­ra berbeda-beda. Yang sama adalah obyeknya, klitoris. Yang mengagetkan, "Tujuh puluh dua persen dilakukan dengan cara­-cara berbahaya dan 28 persen dilakukan secara simbolis," kata Sri Hermianti, Direktur Bina Kesehatan Ibu dan Anak, Departemen Kesehatan.

Tindakan berbahaya yang ia maksud antara lain melakukan sayatan, goresan, atau pemotongan secara insisi, yaitu tanpa ada jaringan yang terlepas, dan eksisi, yaitu memotong melepas jaringan. "Jika klitoris sudah rusak, berarti dia tidak punya kepekaan terhadap lawan jenisnya. Itu berarti merusak proses reproduksi seksualnya," ujar Sri.

Dalam jangka panjang, rusaknya kli­toris bisa mengakibatkan gangguan menstruasi, infeksi saluran kemih kronis, radang panggul kronis, dan disfungsi seksual. Bahkan risiko tertular HIV/ AIDS pun menjadi lebih tinggi. Karena pertimbangan itulah Departemen Kese­hatan mengimbau tenaga medis profe­sional, dokter dan bidan, tidak melakukan sunat pada perempuan.

Imbauan yang dikeluarkan Departe­men Kesehatan segera memancing per­debatan. Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Ma'ruf Amien mengatakan imbauan itu tidak benar. Sunat, menurut dia, merupakan bagian ajaran Islam yang harus dilaksanakan, bukan malah dilarang.

Di masyarakat sendiri ada ke­percayaan bahwa perempuan wajib disunat seperti halnya laki-laki. Masyarakat Goronta­10, misalnya, percaya ada segum­pal daging kecil sebesar butir­an beras yang menempel pada klitoris. "Menurut para leluhur, yang menempel pada klitoris itu titipan setan dan harus diber­sihkan," kata Farha Daulima, pemuka adat Gorontalo.

Dalam tradisi Gorontalo, bo­cah perempuan usia satu sampai dua tahun akan menjalani masa adat. Saat itu mereka harus mengikuti upacara mopolihu lo limu - mandi air ramuan li­mau purut dan mongubingo, khitan atau mencubit daging yang menempel pada klitoris. Secara turun-temurun mereka percaya, jika hal itu tidak di­lakukan, maka anak yang dila­hirkan tetap membawa barang haram

Secara agama, khitan pada lelaki maupun perempuan juga dianggap kewajiban bagi se­tiap muslim suku Gorontalo. Alasannya lain lagi. "Khitan akan membatasi nafsu perempuan," kata D.K. Usman, pemu­ka agama.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejauh ini belum meng­ambil sikap. "Belum ada perta­nyaan yang langsung dari masyarakat, lembaga, atau pemerintah ke kami, sehingga be­lum dibahas secara profesional dalam Komisi Fatwa," kata Ke­tua MUI Amidhan.

Ia hanya menerangkan, menu­rut mazhab Maliki dan Hambali, khitan perempuan dianggap sebagai tindakan kemuliaan, asalkan tidak berlebihan. Sedangkan mazhab Syafi'i, yang dianut banyak ka­langan di sini, mewajibkan sunat pada perempuan.

Merujuk kepada keterangan itu, Ami­dhan berharap petugas medis tidak me­nolak untuk mengkhitan perempuan. "Lebih berisiko kalau masyarakat lari ke bidan kampung yang standar kese­hatannya tidak terjamin," katanya.

Sudah waktunya juga kesehatan reproduksi perempuan jadi pertimbangan.

sumber: Majalah Tempo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar