Ketika di penghujung pemerintahan Presiden Soeharto, sosoknya sering muncul di televisi. Dengan tubuh tinggi tegap dengan wajahnya rupawan, Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin mampu menyedot perhatian ibu-ibu dan gadis-gadis ibukota waktu itu. Sempat terekam di berita televisi bagaimana antusiasnya mereka menyambut patroli jenderal ini sewaktu menjabat Pangdam Jaya sejak 24 September 1997. Sayang, popularitas dan karir cemerlangnya kandas seiring runtuhnya Orde Baru, namanya pun dikaitkan dengan pelanggaran HAM yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti, bersama Pangkostrad kala itu, Letjen Prabowo Subiyanto.
Pria yang berasal satu daerah dengan Jusuf Kalla ini lahir pada tanggal 30 Oktober 1952 (58 tahun). Sjafrie terlahir sebagai anak kolong. Ayahnya, Sjamsoeddin adalah anggota ABRI, terakhir berpangkat letnan kolonel. Hasrat Sjafrie menjadi tentara tumbuh ketika duduk di SMA IV. Lokasi sekolahnya dekat dengan Markas Komando Daerah Militer Jaya yang ketika itu berada di Lapangan Banteng.
Setelah lulus SMA, anak keenam dari sebelas bersaudara ini melamar ke Akabri dan terpilih dari ribuan pelamar. Saat menjalani masa pendidikan di Magelang, Jawa Tengah, 1973, dia pernah terpilih menjadi Komandan Korps Taruna, menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sejak lulus dari Akabri, Sjafrie bergabung dengan pasukan elite Komando Pasukan Khusus. Dia kenyang dengan pengalaman bertempur di lapangan. Sjafrie diterjunkan tiga kali ke Timor Timur (1976, 1984, 1990) dalam Operasi Falmboyan. Dia juga memimpin pasukan Kopassus dalam Operasi Nanggala XXI ketika menangani Gerakan Aceh Merdeka pada 1977 di Nanggroe Aceh Darussalam.
Sepulang dari Aceh, pria berperawakan tinggi ramping ini bertugas sebagai anggota Satuan Pengawal Pribadi Presiden. Tugas ini dijalaninya dari tahun 1978-1984, dari pangkat letnan satu sampai kapten. Kemudian, Sjafrie terjun bersama Agum Gumelar, bekas Pangdam VII/Wirabuana, dalam Tim Maleo pada 1987 di Irianjaya. Posisi yang pernah disandangnya di korps baret merah antara lain Komandan Batalyon (Danyon) Grup I dan Wakil Asisten Operasi Komandan.
Pada 1993, Sjafrie kembali diperintahkan bertugas di Istana. Kali ini, dia menjadi komandan Grup A Pasukan Pengawal Presiden (Paswalpres) menggantikan Subagyo H.S.–bekas Kepala Staf Angkatan Darat. Ia mengawal Presiden Soeharto dalam berbagai kunjungan muhibah ke Malaysia, Filipina, Sri Lanka (1979), Amerika Serikat, dan Jepang (1980), Korea, Spanyol (1982), Malaysia, Singapura (1984), Amerika, Timur Tengah, Tunisia (1993), India (1994), Denmark, dan Bosnia.
Awal Maret 1995, Sjafrie mendapat penugasan baru sebagai Komandan Rayon Militer 061 Suryakencana, Bogor, Jawa Barat. Di masa kepemimpinannya, Korem Suryakencana pernah menjadi Korem Terbaik. Di Korem ini, Sjafrie bertugas kurang dari satu tahun. Pada Februari 1996, dia hijrah ke Jakarta untuk menduduki posisi baru sebagai Kepala Staf Garnisun Ibu Kota, dengan pangkat brigadir jenderal.
Bintang Sjafrie mulai bersinar saat dilantik sebagai Pangdam Jaya pada 24 September 1997. Saat itu usianya terbilang muda, 45 tahun. Ayah dua anak ini, Mohamad Benriyadin dan Nita, menggantikan Mayjen Sutiyoso yang terpilih sebagai Gubernur DKI Jaya. Pria kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan itu menjadi orang kedua lulusan Akabri 1974 yang memperoleh bintang dua setelah Mayjen TNI Prabowo Subiyanto.
Sjafrie dinilai sebagai prajurit berintelektual tinggi. Dia sempat menimba ilmu Terrorism In Low Intensity Conflict di Fort Benning, Amerika Serikat. Penggemar renang ini menjadi lulusan terbaik dengan mengalahkan peserta lainnya dari Amerika dan negara-negara lain.
Jabatan terakhir sebelum diangkat menjadi Wakil Menteri Pertahanan adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) Departemen Pertahanan RI sejak 15 April 2005. Pelantikannya sebagai Wamenhan sempat ditolak koalisi berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) karena dianggap sosok yang banyak terlibat dalam pelbagai kasus HAM berat semasa aktif sebagai anggota TNI.
Koalisi tersebut antara lain Human Rights Working Group (HRWG), Kontras, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Setara Instititut, dan Elsam. Dalam konferensi persnya di Kantor HRWG, Jalan RP Soeroso, Jakarta Pusat, Rabu (6/1/2010), mereka menyatakan, “Pengangkatan Wakil Menhan ini telah mencederai rasa keadilan para korban pelanggaran HAM yang saat ini masih berjuang untuk keadilan,” kata Sekjen Federasi Kontras Oslan Purba. Hal serupa dikatakan Direktur Eksekutif HRWG, Rafendi Djamin.
…
Jika melihat sukses SBY ketika menaiki jenjang karir di TNI hingga mampu menjadi orang nomor satu di republik ini, menurut saya Letjen Sjafrie Sjamsoeddin pun bisa mengikuti jejaknya. Mengingat sosok keduanya yang hampir mirip, baik dari segi penampilan maupun prestasinya di TNI, seperti postur tubuhnya yang tinggi tegap, handsome dan populer di kalangan mayoritas perempuan Indonesia, atau prestasi sebagai prajurit terbaik di bidangnya seperti ketika dia menjadi lulusan terbaik ‘diklat’ Terrorism In Low Intensity Conflict seperti tersebut di atas.
Karir Sjafrie sekarang adalah Wakil Menteri Pertahanan, orang nomor dua di bawah Purnomo Yusgiantoro di departemen iyu, dan memiliki peluang terbesar menggantikannya seandainya Purnomo terkena reshuffle. Bukan tidak mungkin Presiden SBY akan merombak kabinetnya pada tahun pertama seperti ketika reshuffle periode pertama masa jabatannya dulu.
Dengan keunggulan-keunggulan yang hampir mirip SBY itu, bisa saja Sjafrie Sjamsoeddin memanfaatkannya guna meneruskan jejak SBY, itu pun kalau dia mau. Apa sih yang tidak mungkin di Indonesia ini, tinggal panggil Fox Indonesia, bereslah urusan. Lihat saja kesuksesannya membawa Aburizal Bakrie menjadi Ketua Umum Partai Golkar, Alex Noedin menjadi gubernur Sumatera Selatan, pasangan Soekarwo-Syaifullah Yusuf menjadi pemenang pemilihan gubernur Jawa Timur, dan pilgub Provinsi Maluku.
Yang tak kalah fantastis adalah ketika Fox Indonesia sebagai event organizer mampu mendongkrak suara Partai Demokrat pada pemilu legislatif tahun 2009 dan mengantar pula pendiri partai tersebut ke tangga tertinggi kepresidenan Republik Indonesia dua kali berturut-turut.
Berdasar pengamatan saya melihat pengalaman bangsa ini yang mudah memaafkan tersangka pelanggar HAM berat di Aceh, Timor-timur, Tanjung Priok, Lampung, Trisakti, dan kasus lain, saya kira tidak akan sulit bagi seorang Letjen Sjafrie Sjamsoeddin untuk mengikuti langkah Susilo Bambang Yudhoyono, toh dia belum divonis salah oleh putusan pengadilan yang berhukum tetap. Apalagi jabatan Presiden SBY tinggal periode ini saja dan yang paling utama rakyat negeri ini akan mudah disihir oleh ketampanan dan kewibawaan Wamenhan tersebut. Tentu jika jenderal bintang dua tersebut mau menggunakan jasa Fox Indonesia dengan jurus pencitraannya yang ternyata terbukti ampuh pada pemilu lalu-lalu. Dan menurut saya tidak susah bagi Fox Indonesia, karena bekal kedua jenderal tersebut mempunyai kesamaan yang mirip.
http://polhukam.kompasiana.com/2010/01/08/jenderal-ganteng-itu-calon-presiden-2014/
Pria yang berasal satu daerah dengan Jusuf Kalla ini lahir pada tanggal 30 Oktober 1952 (58 tahun). Sjafrie terlahir sebagai anak kolong. Ayahnya, Sjamsoeddin adalah anggota ABRI, terakhir berpangkat letnan kolonel. Hasrat Sjafrie menjadi tentara tumbuh ketika duduk di SMA IV. Lokasi sekolahnya dekat dengan Markas Komando Daerah Militer Jaya yang ketika itu berada di Lapangan Banteng.
Setelah lulus SMA, anak keenam dari sebelas bersaudara ini melamar ke Akabri dan terpilih dari ribuan pelamar. Saat menjalani masa pendidikan di Magelang, Jawa Tengah, 1973, dia pernah terpilih menjadi Komandan Korps Taruna, menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sejak lulus dari Akabri, Sjafrie bergabung dengan pasukan elite Komando Pasukan Khusus. Dia kenyang dengan pengalaman bertempur di lapangan. Sjafrie diterjunkan tiga kali ke Timor Timur (1976, 1984, 1990) dalam Operasi Falmboyan. Dia juga memimpin pasukan Kopassus dalam Operasi Nanggala XXI ketika menangani Gerakan Aceh Merdeka pada 1977 di Nanggroe Aceh Darussalam.
Sepulang dari Aceh, pria berperawakan tinggi ramping ini bertugas sebagai anggota Satuan Pengawal Pribadi Presiden. Tugas ini dijalaninya dari tahun 1978-1984, dari pangkat letnan satu sampai kapten. Kemudian, Sjafrie terjun bersama Agum Gumelar, bekas Pangdam VII/Wirabuana, dalam Tim Maleo pada 1987 di Irianjaya. Posisi yang pernah disandangnya di korps baret merah antara lain Komandan Batalyon (Danyon) Grup I dan Wakil Asisten Operasi Komandan.
Pada 1993, Sjafrie kembali diperintahkan bertugas di Istana. Kali ini, dia menjadi komandan Grup A Pasukan Pengawal Presiden (Paswalpres) menggantikan Subagyo H.S.–bekas Kepala Staf Angkatan Darat. Ia mengawal Presiden Soeharto dalam berbagai kunjungan muhibah ke Malaysia, Filipina, Sri Lanka (1979), Amerika Serikat, dan Jepang (1980), Korea, Spanyol (1982), Malaysia, Singapura (1984), Amerika, Timur Tengah, Tunisia (1993), India (1994), Denmark, dan Bosnia.
Awal Maret 1995, Sjafrie mendapat penugasan baru sebagai Komandan Rayon Militer 061 Suryakencana, Bogor, Jawa Barat. Di masa kepemimpinannya, Korem Suryakencana pernah menjadi Korem Terbaik. Di Korem ini, Sjafrie bertugas kurang dari satu tahun. Pada Februari 1996, dia hijrah ke Jakarta untuk menduduki posisi baru sebagai Kepala Staf Garnisun Ibu Kota, dengan pangkat brigadir jenderal.
Bintang Sjafrie mulai bersinar saat dilantik sebagai Pangdam Jaya pada 24 September 1997. Saat itu usianya terbilang muda, 45 tahun. Ayah dua anak ini, Mohamad Benriyadin dan Nita, menggantikan Mayjen Sutiyoso yang terpilih sebagai Gubernur DKI Jaya. Pria kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan itu menjadi orang kedua lulusan Akabri 1974 yang memperoleh bintang dua setelah Mayjen TNI Prabowo Subiyanto.
Sjafrie dinilai sebagai prajurit berintelektual tinggi. Dia sempat menimba ilmu Terrorism In Low Intensity Conflict di Fort Benning, Amerika Serikat. Penggemar renang ini menjadi lulusan terbaik dengan mengalahkan peserta lainnya dari Amerika dan negara-negara lain.
Jabatan terakhir sebelum diangkat menjadi Wakil Menteri Pertahanan adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) Departemen Pertahanan RI sejak 15 April 2005. Pelantikannya sebagai Wamenhan sempat ditolak koalisi berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) karena dianggap sosok yang banyak terlibat dalam pelbagai kasus HAM berat semasa aktif sebagai anggota TNI.
Koalisi tersebut antara lain Human Rights Working Group (HRWG), Kontras, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Setara Instititut, dan Elsam. Dalam konferensi persnya di Kantor HRWG, Jalan RP Soeroso, Jakarta Pusat, Rabu (6/1/2010), mereka menyatakan, “Pengangkatan Wakil Menhan ini telah mencederai rasa keadilan para korban pelanggaran HAM yang saat ini masih berjuang untuk keadilan,” kata Sekjen Federasi Kontras Oslan Purba. Hal serupa dikatakan Direktur Eksekutif HRWG, Rafendi Djamin.
…
Jika melihat sukses SBY ketika menaiki jenjang karir di TNI hingga mampu menjadi orang nomor satu di republik ini, menurut saya Letjen Sjafrie Sjamsoeddin pun bisa mengikuti jejaknya. Mengingat sosok keduanya yang hampir mirip, baik dari segi penampilan maupun prestasinya di TNI, seperti postur tubuhnya yang tinggi tegap, handsome dan populer di kalangan mayoritas perempuan Indonesia, atau prestasi sebagai prajurit terbaik di bidangnya seperti ketika dia menjadi lulusan terbaik ‘diklat’ Terrorism In Low Intensity Conflict seperti tersebut di atas.
Karir Sjafrie sekarang adalah Wakil Menteri Pertahanan, orang nomor dua di bawah Purnomo Yusgiantoro di departemen iyu, dan memiliki peluang terbesar menggantikannya seandainya Purnomo terkena reshuffle. Bukan tidak mungkin Presiden SBY akan merombak kabinetnya pada tahun pertama seperti ketika reshuffle periode pertama masa jabatannya dulu.
Dengan keunggulan-keunggulan yang hampir mirip SBY itu, bisa saja Sjafrie Sjamsoeddin memanfaatkannya guna meneruskan jejak SBY, itu pun kalau dia mau. Apa sih yang tidak mungkin di Indonesia ini, tinggal panggil Fox Indonesia, bereslah urusan. Lihat saja kesuksesannya membawa Aburizal Bakrie menjadi Ketua Umum Partai Golkar, Alex Noedin menjadi gubernur Sumatera Selatan, pasangan Soekarwo-Syaifullah Yusuf menjadi pemenang pemilihan gubernur Jawa Timur, dan pilgub Provinsi Maluku.
Yang tak kalah fantastis adalah ketika Fox Indonesia sebagai event organizer mampu mendongkrak suara Partai Demokrat pada pemilu legislatif tahun 2009 dan mengantar pula pendiri partai tersebut ke tangga tertinggi kepresidenan Republik Indonesia dua kali berturut-turut.
Berdasar pengamatan saya melihat pengalaman bangsa ini yang mudah memaafkan tersangka pelanggar HAM berat di Aceh, Timor-timur, Tanjung Priok, Lampung, Trisakti, dan kasus lain, saya kira tidak akan sulit bagi seorang Letjen Sjafrie Sjamsoeddin untuk mengikuti langkah Susilo Bambang Yudhoyono, toh dia belum divonis salah oleh putusan pengadilan yang berhukum tetap. Apalagi jabatan Presiden SBY tinggal periode ini saja dan yang paling utama rakyat negeri ini akan mudah disihir oleh ketampanan dan kewibawaan Wamenhan tersebut. Tentu jika jenderal bintang dua tersebut mau menggunakan jasa Fox Indonesia dengan jurus pencitraannya yang ternyata terbukti ampuh pada pemilu lalu-lalu. Dan menurut saya tidak susah bagi Fox Indonesia, karena bekal kedua jenderal tersebut mempunyai kesamaan yang mirip.
http://polhukam.kompasiana.com/2010/01/08/jenderal-ganteng-itu-calon-presiden-2014/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar