Artalyta, wanita satu ini mungkin lebih cocok kalau diberi julukan Drupada masa kini. Betapa tidak, jika kita simak dari kasus pidananya, Artalyta adalah seorang tokoh mafia hukum yang lincah memainkan lakon. Ia terbukti menyuap Jaksa Urip Trigunawan sekitar Rp 6 miliar untuk meloloskan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Syamsul Nursalim.
Tidak berhenti disitu saja, Artalyta kalau tidak bisa membuat orang gemes sekaligus berdecak kagum. Semua terbelalak ketika melihat, mendengar, dan membaca tentang fasilitas "sel eksklusif" yang diberikan kepada narapidana kasus suap, Artalyta Suryani di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Temuan hasil inspeksi mendadak Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum ini tiba-tiba saja mengusik rasa keadilan. Bagaimana tidak? Seorang narapidana kasus suap yang menghebohkan masyarakat karena menyuap seorang jaksa ternyata bisa menikmati segala kemewahan di penjara.
Hotel Prodeo yang selama ini digambarkan penuh sesak, kotor, dan menyeramkan sama sekali tak tergambar pada "sel" yang ditempati Artalyta Suryani. Bayangkan, sebuah kamar berukuran sekitar 80 meter persegi yang ber-AC, berkarpet, ada TV layar datar, ada satu set perlengkapan furnitur dan sping bed, bahkan fasilitas bermain untuk bayinya. Di dalam ruangan ini pun Artalyta--yang kerap dipanggil Ayin--bisa menikmati perawatan dari dokter kecantikan serta dengan bebas menggelar rapat dengan anah buahnya.
Wow! Tentu ini lebih tepat kalau disebut kamar hotel, bukan sel. Yang lebih mengejutkan lagi, kamar tadi sebenarnya memang bukan sel tetapi salah satu ruang kerja di rutan yang disulap menjadi "sel" bagi Artalyta.
Apa yang terjadi? Mengapa Artalyta bisa mendapatkan fasilitas semewah itu? Siapa yang memberikan fasilitas? Berapa rupiah yang dikeluarkan Artalyta untuk mendapatkannya? Dan masih sederet pertanyaan lain yang ingin segera tahu apa jawabannya.
Ada dua hal yang menggelitik untuk dibicarakan. Pertama tentu tentang sang tokoh, Artalyta Suryani. Kedua adalah pemberian fasilitas berlebihan, yang sudah pasti menyalahi aturan.
Dalam urusan seperti ini, suap menyuap pejabat penegak hukum, Artalyta mungkin sekelas Anggodo Widjojo atau bahkan lebih. Di luar kebobrokan mentalnya, sang Drupada memang cukup digdaya. Buktinya, setelah divonis bersalah dan dipenjara, Artalyta masih bisa menunjukkan taringnya. Fasilitas mewah yang didapatnya di Rutan Pondok Bambu membuktikan kelasnya sebagai tokoh mafia hukum.
Artalyta tentu tak mendapatkan semua fasilitas tadi dengan gratis. Bukan main! Siapa lagi sekarang yang kena bujuk rayunya? Pengelola rumah tahanan tentu sudah tak bisa lagi menyembunyikan coreng belang di wajahnya. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa ada fasilitas atau perlakuan khusus di rutan atau penjara yang "dijual" kepada para narapidana "berduit".
Ambil saja cerita soal fasilitas khusus yang dinikmati Tommy Soeharto atau Bob Hasan di Cipinang dan Nusakambangan. Belum lagi soal fasilitas-fasilitas lain yang "diperjualbelikan" semisal jadwal kunjungan keluarga, memiliki telepon selular atau masih sederet lainnya.
Galibnya semua berpikir, jangan-jangan praktik pemberian fasilitas berlebihan kepada narapidana "kaya" ini sudah menjadi tradisi turun temurun dan jadi ladang "bisnis" menguntungkan bagi pengelola penjara.
Jika benar, tentu ini sebuah kondisi yang menyedihkan dan ironis. Karena ternyata, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar mengaku tak tahu menahu dengan fasilitas eksklusif yang diberikan kepada Artalyta. Padahal, pak menteri ini--seperti juga eks menteri Hukum dan HAM yang lain--rajin melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah penjara. Hasilnya, seperti biasa, kondisi narapidana menyedihkan karena ruangan sel yang penuh sesak, kotor, dan jauh dari konsep manusiawi. Tak pernah ada cerita sejumlah narapidana mendapatkan fasilitas yang lebih.
Apakah selama ini ada fakta yang disembunyikan? Tak ada yang tahu. Perlu ada penyelidikan mendalam untuk mengungkap hal ini dan menyeret pejabat yang bertanggung jawab. Semoga saja, temuan Tim Pemberantasan Mafia Hukum ini segera ditindaklanjuti.
Tidak berhenti disitu saja, Artalyta kalau tidak bisa membuat orang gemes sekaligus berdecak kagum. Semua terbelalak ketika melihat, mendengar, dan membaca tentang fasilitas "sel eksklusif" yang diberikan kepada narapidana kasus suap, Artalyta Suryani di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Temuan hasil inspeksi mendadak Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum ini tiba-tiba saja mengusik rasa keadilan. Bagaimana tidak? Seorang narapidana kasus suap yang menghebohkan masyarakat karena menyuap seorang jaksa ternyata bisa menikmati segala kemewahan di penjara.
Hotel Prodeo yang selama ini digambarkan penuh sesak, kotor, dan menyeramkan sama sekali tak tergambar pada "sel" yang ditempati Artalyta Suryani. Bayangkan, sebuah kamar berukuran sekitar 80 meter persegi yang ber-AC, berkarpet, ada TV layar datar, ada satu set perlengkapan furnitur dan sping bed, bahkan fasilitas bermain untuk bayinya. Di dalam ruangan ini pun Artalyta--yang kerap dipanggil Ayin--bisa menikmati perawatan dari dokter kecantikan serta dengan bebas menggelar rapat dengan anah buahnya.
Wow! Tentu ini lebih tepat kalau disebut kamar hotel, bukan sel. Yang lebih mengejutkan lagi, kamar tadi sebenarnya memang bukan sel tetapi salah satu ruang kerja di rutan yang disulap menjadi "sel" bagi Artalyta.
Apa yang terjadi? Mengapa Artalyta bisa mendapatkan fasilitas semewah itu? Siapa yang memberikan fasilitas? Berapa rupiah yang dikeluarkan Artalyta untuk mendapatkannya? Dan masih sederet pertanyaan lain yang ingin segera tahu apa jawabannya.
Ada dua hal yang menggelitik untuk dibicarakan. Pertama tentu tentang sang tokoh, Artalyta Suryani. Kedua adalah pemberian fasilitas berlebihan, yang sudah pasti menyalahi aturan.
Dalam urusan seperti ini, suap menyuap pejabat penegak hukum, Artalyta mungkin sekelas Anggodo Widjojo atau bahkan lebih. Di luar kebobrokan mentalnya, sang Drupada memang cukup digdaya. Buktinya, setelah divonis bersalah dan dipenjara, Artalyta masih bisa menunjukkan taringnya. Fasilitas mewah yang didapatnya di Rutan Pondok Bambu membuktikan kelasnya sebagai tokoh mafia hukum.
Artalyta tentu tak mendapatkan semua fasilitas tadi dengan gratis. Bukan main! Siapa lagi sekarang yang kena bujuk rayunya? Pengelola rumah tahanan tentu sudah tak bisa lagi menyembunyikan coreng belang di wajahnya. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa ada fasilitas atau perlakuan khusus di rutan atau penjara yang "dijual" kepada para narapidana "berduit".
Ambil saja cerita soal fasilitas khusus yang dinikmati Tommy Soeharto atau Bob Hasan di Cipinang dan Nusakambangan. Belum lagi soal fasilitas-fasilitas lain yang "diperjualbelikan" semisal jadwal kunjungan keluarga, memiliki telepon selular atau masih sederet lainnya.
Galibnya semua berpikir, jangan-jangan praktik pemberian fasilitas berlebihan kepada narapidana "kaya" ini sudah menjadi tradisi turun temurun dan jadi ladang "bisnis" menguntungkan bagi pengelola penjara.
Jika benar, tentu ini sebuah kondisi yang menyedihkan dan ironis. Karena ternyata, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar mengaku tak tahu menahu dengan fasilitas eksklusif yang diberikan kepada Artalyta. Padahal, pak menteri ini--seperti juga eks menteri Hukum dan HAM yang lain--rajin melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah penjara. Hasilnya, seperti biasa, kondisi narapidana menyedihkan karena ruangan sel yang penuh sesak, kotor, dan jauh dari konsep manusiawi. Tak pernah ada cerita sejumlah narapidana mendapatkan fasilitas yang lebih.
Apakah selama ini ada fakta yang disembunyikan? Tak ada yang tahu. Perlu ada penyelidikan mendalam untuk mengungkap hal ini dan menyeret pejabat yang bertanggung jawab. Semoga saja, temuan Tim Pemberantasan Mafia Hukum ini segera ditindaklanjuti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar