Malam itu jam di handphone sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB, sementara aku dan istriku masih on the way home. Butiran gerimis kecil mulai nampak menghiasi kaca depan mobil kami. Sekitar dua ratus meter dari tikungan jalan menuju rumah, iring-iringan itupun tampak.
Dua kelompok “Manusia Gerobak”. Seorang lelaki berada didepan, menarik gerobak, sementara seorang perempuan -yang nampaknya istrinya- berjalan dibelakang mengikutinya. Di dalam gerobak, tampaklah dua orang anak kecil tertidur lelap berselimutkan botol-botol plastik bekas. Sedangkan kelompok kedua, kelompok yang lain, agak berbeda. Seorang lelaki tetap berada didepan, sementara seorang anak kecil perempuan duduk diujung gerobak sambil bernyanyi-nyanyi kecil, didalam gerobak, seorang perempuan hamil tua nampak berbaring, bersama koran-koran bekas. Pemandangan yang sangat unik. Sangat menyentuh.
Segera setelah melewati mereka mobil kami sengaja menepi. Terdorong oleh naluri dan hobby photography, akupun meraih kamera yang memang hampir selalu menemaniku kemanapun aku pergi dan bergegas mengabadikan pemandangan tersebut. Dengan angle dan penerangan seadanya, gambar keduanya berhasil kudapatkan. Tapi sesuatu dihati ini berbisik, bahwa apa yang kulakukan masih belum cukup. Aku melewati mereka kembali untuk kedua kalinya, kini setelah berada dalam posisi sejajar, istriku menurunkan kaca dan memberikan mereka sesuatu.
(Aku tentunya tidak mau menjadi seorang pemenang Pulitzer, namun kemudian stress dan mati bunuh diri karena objek fotonya yang notabene adalah seorang bocah hitam ceking kelaparan, mati digerogoti Burung Bangkai, hanya karena ia lebih mengutamakan memotret ketimbang menolong bocah malang tersebut !!!)
“Terimakasih Eneng cantik !”, teriak ibu dirombongan pertama hampir berbarengan dengan suaminya.
“Terimakasih tante”, teriiak anak kecil dirombongan kedua dengan sumringah.
“Semoga banyak rejeki ya..”, sapa ibunya yang tengah hamil tua, dari dalam gerobak, sambil tertawa riang.
Mendengar dan melihat kecerian mereka membuat aku merasa malu seketika itu juga. Baru saja kami menghadiri sebuah pentas luar biasa gemerlap, yang dihadiri oleh Agnes Monica. Dan kami nyaris BT karena tidak kebagian kursi. Kemudian setelah itu, kami menyempatkan diri untuk makan malam di sebuah Mall yang menyediakan konsep “Makan di Bawah Langit Terbuka” di roof top mereka, inipun dengan gerutuan karena lamanya pesanan kami muncul didepan hidung ini, akibat pengunjung yang luar biasa ramai.
Betapa mudah, kegembiraan dan keceriaan hidup kita direnggut oleh sesuatu yang sebenarnya “remeh” dan “bukan persoalan hidup mati” seperti itu. Kita seperti terbiasa, menggolongkan bahwa hal-hal “tambahan” itu begitu mutlak perlu dalam hidup kita, seakan tanpa itu semua hidup kita akan berhenti.
Tidak bisa tidur karena harga saham melorot.
Marah karena mobil kita masuk bengkel.
Stress karena gak kebagian ticket premier 2012.
BT karena hari Senin.
Uring-uringan karena dimarahin boss.
Ngedumel karena pesawat delay.
Bunuh diri di Mall karena putus cinta.
Dendam karena ide kita diserobot teman kantor.
Memaki-maki keadaan karena gak jadi luburan ke Hongkong.
Bertengkar dengan rekan bisnis karena sebuah kesalahpahaman biasa.
Membatalkan umroh hanya karena Dude Herlino batal umroh
(kallo yang ini mah..adegan film..Emak Ingin Naik Haji he..he..)
Dan lain sebagainya…
Padahal kalau dipikir-pikir, semua itu “tidak sampai” membuat kita demi anak istri menarik gerobak kesana-kemari. Atau “tidak sampai” menyeret kita untuk tidur dalam gerobak berselimutkan sampah-sampah yang akan dijual.
Atau bahkan lebih gila dari itu semua : melahirkan dalam gerobak !!
Sepertinya kita perlu mengubah pola pikir kita yang sudah sedemikian teracuni oleh “gemerlap” kesuksesan, persaingan dan keduniawian.
Menyisihkan waktu untuk sekedar menepi, agar lebih bersyukur dengan rejeki, pekerjaan dan hidup yang Sang Khaliq berikan kepada kita. Sehingga “hal-hal tambahan” itu dapat didudukkan dalam porsi yang lebih rendah atau bahkan jika terlalu membebani kenikmatan hidup, dapat dibuang saja kedalam gerobak sampah !
Dua kelompok “Manusia Gerobak”. Seorang lelaki berada didepan, menarik gerobak, sementara seorang perempuan -yang nampaknya istrinya- berjalan dibelakang mengikutinya. Di dalam gerobak, tampaklah dua orang anak kecil tertidur lelap berselimutkan botol-botol plastik bekas. Sedangkan kelompok kedua, kelompok yang lain, agak berbeda. Seorang lelaki tetap berada didepan, sementara seorang anak kecil perempuan duduk diujung gerobak sambil bernyanyi-nyanyi kecil, didalam gerobak, seorang perempuan hamil tua nampak berbaring, bersama koran-koran bekas. Pemandangan yang sangat unik. Sangat menyentuh.
Segera setelah melewati mereka mobil kami sengaja menepi. Terdorong oleh naluri dan hobby photography, akupun meraih kamera yang memang hampir selalu menemaniku kemanapun aku pergi dan bergegas mengabadikan pemandangan tersebut. Dengan angle dan penerangan seadanya, gambar keduanya berhasil kudapatkan. Tapi sesuatu dihati ini berbisik, bahwa apa yang kulakukan masih belum cukup. Aku melewati mereka kembali untuk kedua kalinya, kini setelah berada dalam posisi sejajar, istriku menurunkan kaca dan memberikan mereka sesuatu.
(Aku tentunya tidak mau menjadi seorang pemenang Pulitzer, namun kemudian stress dan mati bunuh diri karena objek fotonya yang notabene adalah seorang bocah hitam ceking kelaparan, mati digerogoti Burung Bangkai, hanya karena ia lebih mengutamakan memotret ketimbang menolong bocah malang tersebut !!!)
“Terimakasih Eneng cantik !”, teriak ibu dirombongan pertama hampir berbarengan dengan suaminya.
“Terimakasih tante”, teriiak anak kecil dirombongan kedua dengan sumringah.
“Semoga banyak rejeki ya..”, sapa ibunya yang tengah hamil tua, dari dalam gerobak, sambil tertawa riang.
Mendengar dan melihat kecerian mereka membuat aku merasa malu seketika itu juga. Baru saja kami menghadiri sebuah pentas luar biasa gemerlap, yang dihadiri oleh Agnes Monica. Dan kami nyaris BT karena tidak kebagian kursi. Kemudian setelah itu, kami menyempatkan diri untuk makan malam di sebuah Mall yang menyediakan konsep “Makan di Bawah Langit Terbuka” di roof top mereka, inipun dengan gerutuan karena lamanya pesanan kami muncul didepan hidung ini, akibat pengunjung yang luar biasa ramai.
Betapa mudah, kegembiraan dan keceriaan hidup kita direnggut oleh sesuatu yang sebenarnya “remeh” dan “bukan persoalan hidup mati” seperti itu. Kita seperti terbiasa, menggolongkan bahwa hal-hal “tambahan” itu begitu mutlak perlu dalam hidup kita, seakan tanpa itu semua hidup kita akan berhenti.
Tidak bisa tidur karena harga saham melorot.
Marah karena mobil kita masuk bengkel.
Stress karena gak kebagian ticket premier 2012.
BT karena hari Senin.
Uring-uringan karena dimarahin boss.
Ngedumel karena pesawat delay.
Bunuh diri di Mall karena putus cinta.
Dendam karena ide kita diserobot teman kantor.
Memaki-maki keadaan karena gak jadi luburan ke Hongkong.
Bertengkar dengan rekan bisnis karena sebuah kesalahpahaman biasa.
Membatalkan umroh hanya karena Dude Herlino batal umroh
(kallo yang ini mah..adegan film..Emak Ingin Naik Haji he..he..)
Dan lain sebagainya…
Padahal kalau dipikir-pikir, semua itu “tidak sampai” membuat kita demi anak istri menarik gerobak kesana-kemari. Atau “tidak sampai” menyeret kita untuk tidur dalam gerobak berselimutkan sampah-sampah yang akan dijual.
Atau bahkan lebih gila dari itu semua : melahirkan dalam gerobak !!
Sepertinya kita perlu mengubah pola pikir kita yang sudah sedemikian teracuni oleh “gemerlap” kesuksesan, persaingan dan keduniawian.
Menyisihkan waktu untuk sekedar menepi, agar lebih bersyukur dengan rejeki, pekerjaan dan hidup yang Sang Khaliq berikan kepada kita. Sehingga “hal-hal tambahan” itu dapat didudukkan dalam porsi yang lebih rendah atau bahkan jika terlalu membebani kenikmatan hidup, dapat dibuang saja kedalam gerobak sampah !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar